“Tidak satu pun saksi dan saksi pelapor yang diperiksa penyidik terkait Pasal 263 KUH Pidana. Mereka hanya diperiksa terkait Pasal 167 KHU Pidana. Jika benar mereka diperiksa ada kaitannya dengan Pasal 263, kenapa pasalnya tidak disebutkan atau dicantumkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP)”.
Dr SANTRAWAN TOTONE PAPARANG, SH, MH, M.Kn dan HANAFI SALEH, SH, PENASIHAT HUKUM TERDAKWA, MARGARETHA MAKALEW.
Pilarmanado.com, MANADO – Sidang perkara dugaan penyerobotan tanah yang melibatkan terdakwa Margaretha Makalew, semakin menarik untuk disimak, menyusul hadirnya dua ahli memberikan kesaksian dalam pesidangan di Pengadilan Negeri (PN) Manado, Rabu (22/10/2025).

Kedua saksi itu masing – masing, Dr Abdurrachman Konoras, SH, MH, ahli hukum perdata, sekaligus pengajar pada Universitas Trinita Kota Manado, dan Equenius Paransi, SH, MH, ahli hukum pidana, juga pengajar tetap di Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Manado.
Ahli Dr Abdurrachman dalam pernyataannya menegaskan, perkara Margaretha dalam pandangan hukum perdata, lebih tepat diadili di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau dalam sidang keperdataan, bukannya kepidanaan.
Masalahnya kata Abdurrachman, perkara yang menjerat Margaretha merupakan perdata murni, karena menyangkut hak kepemilikan semisal tanah, sehingga diperlukan unsur pembuktian terkait batas – batas.
“Sebaliknya jika suatu perkara dipaksakan untuk diadili atau diproses pidana, konteks permasalahannya menjadi lain, sebab yang harus dibuktikan terlebih dahulu adalah status kepemilikan terhadap suatu barang atau benda,” ujar Abdurrachman mengingatkan.

Sedangkan menyangkut surat kuasa jika didasarkan pada harta bersama, secara tegas Abdurrachman mengatakan, tidaklah sah jika hanya satu pihak yang menyetujui (menandatanganinya –red).
Penegasan itu dia sampaikan atas pertanyaan penasihat hukum terdakwa, Dr Santrawan Totone Paparang, SH, MH, M.Kn, terkait surat yang dikuasakan Dharma Gunawan kepada anaknya Rudy Gunawan.
“Surat kuasa yang diberikan haruslah dibedakan apakah bersifat khusus atau umum. Jika sifatnya khusus, yang dikuasakan dapat bertindak untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu sebagaimana telah dijelaskan secara terperinci. Sebaliknya jika tidak, surat tersebut haruslah dibatalkan,” tandas Abdurrachman.
Sementara saksi ahli Equenius Paransi, menyorot soal penyalahgunaan kewenangan berupa penambahan pasal dalam surat dakwaan tidak melalui prosedural, menurut dia, oknum Jaksa Penuntut Umum (JPU) merupakan pihak yang bertanggung jawab, bukannya institusi atau lembaga.
Di sisi lain, penasihat hukum terdakwa, Hanafi Saleh, SH, meminta kepada ketua majelis hakim, Yance Patiran, SH, MH, menghadirkan saksi verbalisan (penyidik – red), bukti P-19 atau surat petunjuk dari JPU kepada penyidik dan pelapor Dharma Gunawan, untuk dihadirkan pada sidang lanjutan.
“Yang bersangkutan (Dharma Gunawan –red) adalah pemberi kuasa kepada Rudy Gunawan. Kami ingin memastikan apakah tanah yang disengketakan adalah milik pribadi atau harta bersama,” ujar Santrawan dan Hanafi.

Keduanya juga mengatakan kalau penyidik telah dilaporkan resmi kepada Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim), Profesi dan Pengamanan (Propam) dan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Sulawesi Utara (Sulut).
“Sedangkan untuk JPU, kami juga melaporkan ke Asisten Bidang Pengawasan (Aswas) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulut. Menyangkut pernyataan JPU di mana objek perkara telah dieksekusi pada 1977, akan kami ajukan bukti, namun tidak dapat kami uraikan dalam persidangan ini,” ungkap keduanya.
Selanjutnya, sidang yang berlangsung di ruang Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H, dijadwalkan digelar kembali pada, Senin (03/11/2025). Penulis: Christiaan N. G.

