Oleh: Frans Eka Dharma K.
Ketua PRD Sulawesi Utara 2005-2014, Juga Aktivis 1998
Undang – Undang (UU) Omnibuslaw Cipta Kerja adalah produk hukum dari lembaga yang sama dengan yang melahirkan UU pemilihan kepala daerah (Pilkada). Kedua UU tersebut sama – sama digugat ke lembaga bernama Mahkamah Konstitusi (MK).
Ajaibnya, MK memenangkan gugatan UU Pilkada dan tidak bersedia memenangkan gugatan UU Omnibuslaw. Padahal kedua UU tersebut sama – sama didemo dengan kekuatan gerakan massa.
UU Omnibuslaw ini sebetulnya lebih berdampak langsung ke masyarakat, terutama kalangan pekerja/buruh, dan lebih luas dari itu sangat berhubungan dengan kesejahteraan dan rasa keadilan.
Sementara UU Pilkada mungkin dianggap sebagai fondasi yang dipakai berdemokrasi, agar rakyat mengunakan sarana demokrasi untuk menentukan bangunan politik yang akan memenuhi dengan kesejahteraan keadilan.

Pemilihan Umum (Pemilu) adalah sarana demokrasi. Dari pengalaman UU Omnibuslaw Cipta Kerja yang dihasilkan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dan pemerintahan hasil pemilu 2019, seharusnya, Pemilu 2024 memberi ‘ganjaran’ terhadap perilaku elit politik partai politik yang sewenang-wenang saat berkuasa.
Tapi faktanya pemilu 2024 “masih” memberikan hak bagi partai politik maupun elit politik untuk tetap mengunakan kuasa tersebut. Lantas bagaimana dengan Pilkada yang perundangannya dimenangkan oleh MK dan gerakan mahasiswa?
Perlawanan terhadap UU Pilkada yang membatalkan keputusan MK, sebetulnya cerminan ketidakpercayaan rakyat terhadap lembaga legislatif maupun eksekutif yang diberikan hak membuat konstitusi.
Sebelumya MK sempat mengecewakan masyarakat ketika meloloskan batas usia calon wakil presiden (Cawapres), yang membuat rakyat menilai lembaga yudikatif tidak bisa netral dan bersekutu dengan kepentingan kekuasaan.
Tentu dengan adanya gugatan terhadap UU Pilkada ini, menjadi kesempatan bagi MK mencitrakan diri, seolah-olah kesalahan sebelumnya ulah ‘oknum’ semata. Dan ini tak terjadi ketika MK berhadapan dengan gugatan Omnibuslaw Cipta Kerja, justru MK satu suara dengan Pemerintah dan DPR – RI.
Saat ini tahapan Pilkada sedang berjalan. Tentu Pilkada juga sarana politik rakyat untuk memilih penguasa di tingkatan daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota.
Sekalipun di tengah gembar – gembor kemenangan gerakan massa rakyat atas pembegalan sarana demokrasi tersebut, pertanyaannya adalah, apakah Pilkada akan hasilnya sama dengan Pemilu 14 Februari 2024 lalu, dimana partai – partai maupun elit politik lama yang sewenang – wenang mengunakan kekuasaan, demi kepentingan pribadi maupun kelompok kroninya dalam sekala lokal atau pun kedaerahan?
Disinilah sebetulnya pertaruhan demokrasi yang sesungguhnya. Pemilu atau Pilkada bisa menghasilkan kepemimpinan yang bisa dan mau menjalankan agenda -agenda yang menjawab persoalan rakyat.
Dalam Pilkada, peserta calon kepala daerah ditentukan oleh jumlah suara partai politik peserta Pemilu. Sekali pun ada kesempatan untuk calon independen berpartisipasi, dengan syarat mengumpulkan dukungan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang ditentukan dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Pertanyaannya, apakah kelompok gerakan rakyat bisa memanfaatkan ruang demokrasi tersebut, untuk terlibat langsung melakukan perubahan nyata, dengan merebut kekuasaan didaerah melalui Pilkada?
Pilkada tentu akan menentukan bagaimana daerah tersebut dipimpin. Bagi kelas pekerja, kepala daerah harus mampu menciptakan kesejahteraan dan rasa keadilan, dengan mengeluarkan kebijakan Upah Minimum Provinsi (UMP), sekali pun dibatasi oleh UU Omnibuslaw Cipta Kerja, dimana kepala daerah hasil Pilkada juga harus tahan godaan korupsi maupun tidak, mendahulukan kepentingan pribadi maupun kroni keluarganya.
Ketika Pilkada tidak menghasilkan pemimpin daerah yang lebih baik, itu sama saja dengan apa yang diperjuangkan dan dimenangkan di jalanan lewat gerakan massa rakyat jadi sia-sia belaka.
Artinya gerakan rakyat dikalahkan oleh permainan yang dia tidak pahami menghadapi pemain-pemain lama yang lebih berpengalaman. (***)