Kota Hiroshima dan Nagasaki hancur karena bom atom yang dilepaskan oleh Sekutu pada 6 Agustus 1945 dan 9 Agustus 1945. Ledakan ini menewaskan puluhan ribu orang dan menghancurkan ratusan sekolah hingga universitas.
Peristiwa kehancuran ini menandakan kekalahan Jepang pada perang dunia kedua. Tak hanya kalah, Jepang juga harus bangkit dari keterpurukan dengan segera kala itu.
Pakar sejarah Jepang dari Universitas Indonesia (UI), Susy Ong, BA, MA, DSc, mengatakan bahwa hal yang dilakukan Jepang setelah kalah adalah melakukan introspeksi dan membangun kembali pendidikan dengan ideologi yang baru.
“Pasca kekalahan perang, para akademisi dan birokrat Jepang segera melakukan introspeksi dan riset untuk mencari tahu penyebab kekalahan. Dari hasil riset tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa ada kesalahan fatal pada kebijakan dan filosofi pendidikan selama ini,” tulisnya dalam situs resmi Kemdikbud, dikutip Jumat (3/5/2024).
Pemahaman ini yang kemudian membawa Jepang mulai membangun pendidikannya dari masa kelam. Pemerintah melakukan revisi undang-undang pendidikan secara total.
Pendidikan Jepang Sebelum Dibom Atom
Sebelum bom atom menghancurkan dua kota besar di Jepang, negara tersebut telah memiliki pendidikan yang cukup maju.
Setelah periode Meiji dimulai pada tahun 1868, Kementerian Pendidikan segera didirikan pada tahun 1871 dan sistem pendidikan (menerapkan undang-undang dan peraturan tentang pendidikan sekolah) diumumkan secara resmi pada tahun 1872.
Mengutip situs Hiroshima for Peace, pada masa sebelum dan selama perang, Jepang juga telah menyelenggarakan pendidikan berdasarkan Reskrip Pendidikan (dilembagakan pada tahun 1890).
Reskrip Pendidikan, yang secara resmi diberi judul “Reskrip Kekaisaran tentang Pendidikan” adalah dekrit tentang pendidikan yang dikeluarkan oleh kaisar. Pada masa itu, mereka (dari pihak kaisar) mempunyai otoritas lebih dari hukum dan peraturan.
Pertama, Reskrip Kekaisaran tentang Pendidikan menyatakan bahwa Jepang akan memperoleh pendidikan berdasarkan pandangan nasional berdasarkan sistem kaisar, atau berdasarkan konsep bahwa Jepang didirikan oleh nenek moyang kaisar.
Kedua, pendidikan harus menghargai moral Konfusianisme, termasuk berbakti, dan moral konstitusionalisme modern, seperti kepatuhan terhadap hukum.
Ketiga, hal ini mendorong pengabdian mutlak kepada sistem kaisar dan menuntut rakyatnya untuk melakukan segala upaya demi kaisar pada saat darurat.
Pada periode ini, Hiroshima menjadi pusat pendidikan di Jepang Barat. Namun, seiring dengan berkembangnya sistem sekolah, sekolah umum kemudian didirikan satu demi satu di berbagai kota besar sejak tahun 1872 untuk memberikan pelatihan guru.
Selanjutnya, sekolah normal yang lebih tinggi (untuk pelatihan guru sekolah menengah) dibuka pada tahun 1886. Pada 1902, setelah sekolah normal yang lebih tinggi dibuka di Tokyo, kemudian dibuka di Hiroshima.
Pada 1929, kursus-khusus di Hiroshima direorganisasi dan Universitas Sastra & Sains Hiroshima didirikan. Pada masa ini, sekolah normal yang lebih tinggi dijadikan bagian dari universitas.
Bertahun-tahun kemudian, pendidikan di Jepang semakin berkembang. Namun, pada awal Agustus 1945, bom atom dijatuhkan pihak AS dan membuat dua kota besar hancur.
Bom tersebut mengakibatkan 78 sekolah rusak, termasuk 39 sekolah nasional, 30 sekolah menengah pertama, dan sembilan sekolah menengah atas dan universitas.
Dari jumlah tersebut, 34 sekolah hancur total atau terbakar, tujuh di antaranya hancur total, empat terbakar habis, 20 setengah hancur, satu setengah terbakar, dan hanya tersisa 12 dalam kondisi layak pakai.
Bagaimana Jepang Mulai Membangun Pendidikan Setelah Dibom?
Meski pemboman menyisakan trauma yang mengerikan, kelas-kelas untuk sekolah sudah mulai dibuka kembali pada 21 Agustus 1945. Bahkan, pada hari itu para kepala sekolah nasional bertemu dan membahas cara memulihkan sekolah dan membuka kembali kelas.
Berdasarkan diskusi ini, pemerintah memerintahkan sekolah untuk dibuka kembali mulai tanggal 15 September dan sekolah-sekolah di Kota Hiroshima secara bertahap memulai kembali kelas antara bulan September dan November.
Dalam tulisannya, Susy Ong, menjelaskan bahwa pada tanggal 15 September 1945, yaitu tepat 1 bulan setelah pengumuman kalah perang, pemerintah Jepang melalui menteri pendidikan mengeluarkan ‘Pedoman Kebijakan Pendidikan untuk Pembangunan Jepang Baru,’ yang berisi 11 pedoman kerja:
1. Pendidikan bertujuan memperluas wawasan dan pengetahuan, meningkatkan kemampuan berpikir secara ilmiah, membina semangat cinta damai dan meningkatkan moralitas rakyat
2. Menghapus semua mata pelajaran yang terkait dengan militer, semua pengajaran dan penelitian harus difokuskan untuk tujuan damai
3. Merevisi buku paket agar isinya sesuai dengan kebijakan pendidikan baru
4. Kementerian pendidikan menyelenggarakan program pendidikan ulang (re-edukasi) untuk para guru, agar memahami kebijakan pendidikan yang baru
5. Memberi kesempatan pembelajaran khusus untuk para murid yang telah dikerahkan ke medan perang atau ke pabrik sehingga putus sekolah
6. Pendidikan ilmiah yang bertujuan melatih kemampuan berpikir secara ilmiah dan bukan hanya demi mengejar kepentingan sesaat
7. Untuk membina rakyat yang bermoralitas tinggi dan berwawasan luas, perlu ditingkatkan pendidikan luar sekolah untuk orang dewasa dan pekerja, melalui fasilitas umum seperti perpustakaan umum dan museum, serta memanfaatkan media seperti pameran lukisan, pertunjukan teater, penerbitan buku-buku ilmu pengetahuan populer dan sebagainya
8. Akan memfasilitasi pembentukan karang taruna tingkat lokal, sebagai wadah komunikasi dan pembinaan solidaritas sosial
9. Akan upayakan kerja sama antar agama untuk membina persahabatan dan perdamaian dunia
10. Akan memfasilitasi acara pertandingan olahraga untuk meningkatkan kesehatan jasmani dan rohani, serta membina semangat fair play serta persahabatan sesama anak bangsa dan antara rakyat Jepang dengan warga negara lain
11. Akan melakukan restrukturisasi kementerian pendidikan untuk membentuk direktorat olahraga dan direktorat pendidikan ilmiah.
Secara singkat, pendidikan Jepang dengan ‘kurikulum baru’ berupaya untuk membentuk karakter siswa dengan kapasitas mereka untuk berpikir rasional dan ilmiah. Hal ini karena pada masa itu, masyarakat Jepang memiliki standar ilmiah yang rendah.
Kemudian, pendidikan juga berupaya membangun kepribadian siswa, agar mereka tidak akan disesatkan oleh para pemimpin. Hal ini dilatarbelakangi oleh hasil evaluasi dan introspeksi yang mengungkapkan bahwa pada masa perang banyak penduduk Jepang mudah disesatkan dan diarahkan oleh pemimpin.
Melakukan Reformasi Pendidikan
Setelah mengevaluasi dan membentuk dewan pakar pendidikan, Kementerian Pendidikan Jepang membentuk Dewan Reformasi Pendidikan (Kyouiku Sasshin Iinkai). Dewan baru ini bertugas menyusun undang-undang terkait pendidikan, berdasarkan rekomendasi dari tim Misi Pendidikan Amerika.
Susy Ong juga menerangkan dalam tulisannya, bahwa Dewan Reformasi Pendidikan kemudian segera merumuskan rekomendasi untuk penyusunan UU pendidikan. Dalam UU Pokok Pendidikan, dicantumkan bahwa:
– Tujuan pendidikan adalah membina warga negara yang berkepribadian, sehat jasmani dan rohani serta memiliki karakter yang layak sebagai anggota masyarakat dan negara yang cinta damai dan demokratis.
– Peserta didik harus memperluas pengetahuan dan wawasan, melatih diri agar selalu mencari kebenaran, peka dan berakhlak mulia, serta berusaha agar selalu berbadan sehat
– Peserta didik harus berjiwa mandiri dan kreatif, serta menjunjung tinggi nilai bekerja
– Peserta didik harus bertanggung jawab dan bersikap adil, menjunjung tinggi kesetaraan gender, bisa bekerja sama dengan orang lain, berjiwa sosial, proaktif dalam berkontribusi bagi masyarakat
– Peserta didik harus menghargai semua makhluk hidup, berkontribusi bagi pelestarian lingkungan
– Peserta didik harus memiliki jiwa patriotik sekaligus mau menghargai budaya negara lain, serta proaktif berkontribusi bagi perdamaian dan kemajuan dunia.
Pendidikan yang Berpusat pada Siswa
Untuk membangun sistem di pendidikan tinggi, diterbitkanlah program studi pertama pada 1947. Program studi ini juga dipakai sebagai standar kurikulum di seluruh sistem sekolah.
Program ini dibuat dengan mengacu pada kurikulum Amerika Serikat (courses of study). Pada saat itu, program studi juga digunakan sebagai proposal tentatif untuk memberikan pedoman bagi para guru.
Pada dasarnya, ada dua pendekatan ketika merumuskan kurikulum yakni satu berfokus pada pengajaran pengetahuan dengan cara yang sistematis dan satu lagi berfokus pada apa yang siswa tertarik pelajari.
Dalam hal ini, program studi pertama yang diinisiasi oleh Jepang berorientasi pada minat siswa dalam suatu bidang atau pengetahuan.
Apa yang dilakukan Jepang dalam pendidikan setelah perang, tak lepas dari peran Amerika Serikat mengirimkan tim misi pendidikan ke Jepang pada 1946.
Tim Misi Pendidikan Amerika (the United States Education Mission to Japan) tersebut kemudian menulis laporan komprehensif tentang pendidikan Jepang, termasuk tujuan dan isi pendidikan, administrasi, dan sistem pelatihan guru.
Berdasarkan laporan tersebut, Kementerian Pendidikan mengeluarkan “Pedoman Pendidikan Baru” pada 1946. Kemudian pada April 1947, sistem sekolah baru (sistem enam tahun sekolah dasar, tiga tahun sekolah menengah pertama, dan tiga tahun sekolah menengah atas) diterapkan.
Pendidikan Jepang Mulai Meningkat Pesat
Pada 1958, Jepang memperkenalkan pendidikan yang mendorong sistem pendekatan pengajaran kepada siswa. Hasilnya, kemampuan akademik anak-anak Jepang meningkat pesat sebagai akibat dari kebijakan pendidikan tersebut.
Berdasarkan studi perbandingan kemampuan skolastik internasional yang dilakukan pada 1964 oleh International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA), Jepang menduduki peringkat kedua dalam bidang matematika.
Dalam studi sains selanjutnya yang dilakukan pada tahun 1969 (pada siswa kelas lima dan sembilan di 18 negara), baik siswa kelas lima maupun kelas sembilan di Jepang menduduki peringkat teratas di dunia.
Setelah hasil survei tersebut dipublikasikan, pendidikan di Jepang menjadi menjadi fokus perhatian internasional. Pendidikan diyakini merupakan salah satu faktor yang memungkinkan pemulihan ajaib Jepang dari tragedi perang dan kehancuran.
Kini, Jepang telah menjelma sebagai salah satu negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Beberapa universitas terbaiknya antara lain Tokyo University, Kyoto University, Osaka University, dan Keio University.