Pilarmanado.com – Penangkapan disertai penahanan yang dilakukan Kepolisian Sektor (Polsek) Wori dan Kepolisian Resor Kota (Polresta) Manado, terhadap Risky Dotulong, Pengacara Lembaga bantuan Hukum (LBH) Manado, pada 28 Juli 2024, menuai banyak kritikan, khususnya dari puluhan pengacara di Sulawesi Utara (Sulut).
Melalui konferensi persnya pada, Jumat, 9 Agustus 2024, Risky menuturkan kalau penahanan atas dirinya, bersifat improsedural karena tidak dilengkapi surat penangkapan.
Korban menuturkan, peristiwa pada Minggu, 28 Juli 2024, sekitar pukul 09.00 WITA, dirinya didatangi anggota reserse kriminal (Reskrim) Polres Manado dan Polsek Wori, dengan maksud melakukan penangkapan atas dasar laporan HM, anggota polisi Polsek Wori.

“Pagi itu kami sekeluarga dikejutkan dengan kedatangan sekitar 10 anggota Reskrim Polresta Manado. Tanpa membawa surat-surat apa pun, mereka menyeret paksa dan membawa saya ke Polres Manado,” ujar korban.
Peristiwa tersebut terjadi di Desa Talawaan Bantik, dimana korban didatangi HM dengan keadaan mabuk dan hampir jatuh di tengah lingkaran forum acara, tetapi kemudian ditahan oleh David
Disebutkan, dalam perjalanan menuju Polres Manado, dirinya dipukul berkali – kali oleh anggota Polri Reskirm Polresta Manado. Padahal dia hanya menganjurkan agar HM, segera pulang karena sudah mabuk. Dari situlah awal terjadinya perdebatan sembari saling tunjuk menunjuk.
Sekira 20 menit dari kejadian itu, tibalah 5 orang anggota polisi Sektor Wori dengan mobil patroli untuk menangkap Risky, atas laporan pemukulan terhadap HM via WhatsApp.
Dalam proses penangkapan terjadi perdebatan karena Risky menolak ditangkap sebab tidak ada alasan penangkapan yang jelas.
“Tindakan Kriminalisasi Lewat penangkapan dan penahanan serta dugaan penganiayaan memakin memperjelas bahwa proses di ranah kepolisian sama sekali tidak berperspektif Hak Asasi Manusia (HAM),” ujar Satriano Pangkey.
“Kami menilai Laporan HM dengan nomor LP/B/860/VII/2024/SPKT/POLRESTA MANADO/POLDA SULAWESI UTARA pada Risky, sarat akan kepentingan dan terkesan dipaksakan. Laporan yang dibuat pada tanggal 28 Juli tersebut diproses secepat kilat, dimana pada tanggal 31 Juli, sudah terbit Surat Perintah Dimulainya Penyidikian (SPDP),” ketus Satriano.

Sementara Jekson Wenas dan aliansi kuasa hukum korban, meragukan profesinalitas dan independensi Polres Manado, menindaklanjuti laporan HM, yang notabene sesama adalah anggota Polisi.
Selain mendapat laporan penganiayaan oleh HM, di tanggal 29 Juli 2024 Risky juga mendapat laporan Polisi dengan nomor LP/B/868/VII2024SPKT/ Polda Sulut, dari anggota Polsek Wori atas laporan tindak pidana penganiayaan.
“Tuduhan yang sarat rekayasa, yang bertujuan untuk mengkriminalisasi rekan kami pengacara publik LBH Manado.Terkait dengan penangkapan, merujuk pada pasal Pasal 18 ayat (1) KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Pelaksanaan tugas penangkapan. dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia,” kata Jekson.
Dikatakan, dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.
Atas kejadian ini, tim hukum Risky Dotulong beranggapan ada unsur rekayasa kasus yang kemudian dibuat kepolisian terhadap pengacara LBH ini. Selain itu, LBH Manado juga mengecam keras atas apa yang telah dilakukan aparat kepolisian, yang sewenang – wenang melakukan tindakan kekerasan serta penyiksaan.
“Tindakan ini tidak hanya mencederai soal profesionalisme prilaku aparat, tapi sudah merupakan dugaan tindak pidana,” kata Jekson.
Penulis: Refly Sanggel