Pilarmanado.com, MANADO – Sosialisasi lanjutan identifikasi dan inventarisasi pembangunan rumah susun (Rusun) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ratumbuysang, digelar di Desa Kalasey II, Kecamatan Mandolang, Kabupaten Minahasa, Rabu, (07/08/2024).
Sebelumnya, kegiatan yang sama dilaksanakan di ruang serba guna Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (Disperkimtan) Sulawesi Utara (Sulut), Jumat (02/08/2024).
Pertemuan yang dipimpin kepala bagian (Kabag) Pertanahan Disperkimtan Sulut, Banu Ignasius Istoto, SH, dihadiri beberapa stakeholder terkait, kepala kepolisian sektor (Kapolsek) Pineleng, serta warga petani Kalasey II.

Dalam sosialisasi tersebut, Disperkimtan memaparkan proyek pembangunan Rusun RSUD Ratumbuysang, akan segera dimulai. Disebutkan, pemerintah daerah akan memberikan santunan kepada warga petani yang terdampak, berdasarkan keputusan presiden (Keppres) Nomor 62 Tahun 2018, tentang penanganan dampak sosial kemasyarakatan, dalam rangka penyediaan tanah untuk pembangunan nasional.
Sementara aktivis dan ketua Organisasi Tani Lokal (OTL), yang bernaung di bawah Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Refli Sanggel, menyampaikan argumentasinya terhadap aturan – aturan yang disampaikan pihak Disperkimtan Sulut, menurutnya tidak relevan..

Dalam argumennya, Refli menyampaikan aspirasi atau keluhan warga petani Kalasey II. Ditegaskannya bahwa semua aturan atau regulasi yang disampaikan pemerintah merupakan norma atau hukum.
Persoalannya, imbuh Refli, yang seharusnya dilihat bagaimana hukum itu bisa terwujud atas asas “keadilan” terkhusus bagi petani dan bagaimana petani mendapatkan pengakuan dari negara atas tanah pertaniannya.
“Apakah adil apabila ada oknum akademisi yang dengan bebasnya mendirikan bangunan usaha kos – kosan di atas objek yang diklaim aset Pemprov, sementara petani yang telah menguasai dan mengelolah tanah tersebut sejak tahun 1932, tergusur dengan mudahnya,” ujar Refli, kepada Pilar Manado, Kamis (08/08/2024).
Begitu juga dengan rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas-HAM) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulut, yang dituangkan Komisi I lewat Rapat Dengar Pendapat (RDP) tahun lalu,hingga saat ini tidak diindahkan.
Refli menambahkan, akibat dari tindakan semena – mena itu, banyak warga petani di Kalasey II, kehilangan sumber mata pencaharian. Dan parahnya lagi, ganti rugi yang diterima petani tidaklah sebanding, bahkan sebagian besar proyek pembangunan di atas tanah pertanian masyarakat tidak diberikan ganti rugi.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Manado, Satriano Pangkey, SH berpendapat, sosialisasi tersebut hanya akal – akalan pemerintah untuk melegitimasi proses perampasan tanah petani Kalasey II.
Pada prinsipnya selama masih ada penolakan dari petani, tidak dibenarkan Pemrov Sulut bisa sewenang – wenang merampas tanah petani yang telah turun – temurun menjadi sumber kehidupan warga. Dia juga mengindikan kalau proyek tersebut tidak jelas dasar hukumnya.
“Kalau tanahnya sudah dihibahkan Pemrov Sulut kepada kementerian pariwisata dan ekonomi kreatif (Kemenparekraf), mestinya harus dibarengi dengan pelepasan hak Kemenpar ke pihak rumah sakit. Ini yang sama sekali tidak bisa ditujukan pihak-pihak yang ingin merampas tanah petani,” ketus Satriano.
Dasar itulah imbuh dia, rangkaian proyek di areal perkebunan desa Kalasey II, sama dengan bagian dari proyek ‘genosida’ pada petani, yang dilakukan pemerintah daerah, harus terus dilawan.
Diketahui konflik agraria yang terjadi di Desa Kalasey II, sudah berlangsung selama lebih dari 20 tahun, dimana 58 hektare tanah objek reforma agraria, telah dimanfaatkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulut, untuk proyek pembangunan beberapa instansi pemerintah.
Penulis: Indra Ngadiman