“Dari keterangan delapan saksi, tidak satu pun dari mereka mampu memojokkan kepentingan hukum terdakwa, termasuk dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Sedangkan untuk penambahan Pasal 263 KUH Pidana dari penyidik kepolisian, kami berdua pastikan itu adalah pasal cangkokan sekaligus siluman”.
Dr SANTRAWAN TOTONE PAPARANG, SH, MH, M.Kn dan HANAFI SALEH , SH, PENASIHAT HUKUM MARGARETHA MAKALEW.
Pilarmanado.com, MANADO – Penasihat hukum perkara pemalsuan dokumen yang melibatkan terdakwa Margaretha Makalew, mengatakan, keterangan yang disampaikan saksi dalam persidangan, justru menguntungkan klien mereka.
Pasalnya, sidang yang digelar di ruang Prof Dr Wirjono Prodjodikoro, SH, Pengadilan Negeri (PN) Manado, Senin (15/09/2025), tidak satu pun saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU), mampu menunjuk atau menjelaskan batas – batas tanah yang menjadi objek sengketa.

Umumnya, keterangan ketiga saksi yang disampaikan dalam sidang dipimpin Yance Patiran, SH, MH, dibantu hakim anggota Ronald Massang, SH, MH dan Mariany Korompot, SH itu, hanya bisa menjelaskan mengenai keberadaan tanah, tanpa mampu menerangkan secara detail asal mula kepemilikan.
Selain itu, para saksi juga tidak tahu dengan penempatan Pasal 263 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) yang didakwakan kepada terdakwa, sejak menjalani pemeriksaan penyidik Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Utara (Sulut), hingga surat dakwaan yang dibuat JPU.
“Berdasarkan keterangan tersebut, kami penasihat hukum berkeyakinan kalau ketiga saksi yang dihadirkan JPU tidak satu pun dari mereka tahu atau paham tentang pokok perkara,” ujar penasihat hukum terdakwa, Dr Santrawan Totone Paparang, SH, MH, M.Kn, kepada wartawan usai persidangan.

Terkait dengan itu, penyandang predikat cum laude untuk strata satu ilmu hukum, magister hukum, magister kenotariatan dan program doktoral hukum itu menandaskan, perkara tersebut telah terbukti dimana hasil pemeriksaan saksi 1 hingga 8, tidak satu pun diperiksa terkait pemalsuan dokumen (surat – red), melainkan penyerobotan tanah.
Sama halnya dengan plang (baliho –red), ditegaskan Santrawan, telah dibantah atau disanggah terdakwa bukanlah miliknya. Penegasan itu jelas melemahkan keterangan yang disampaikan saksi Valentino Bojoh, sopir saksi pelapor, Darma Gunawan, dimana dirinya tidak melihat langsung plang tersebut dipasang Margaretha.
Begitu juga dengan keterangan yang tertulis pada baliho, dimana pada 1997 silam, Pengadilan Tinggi (PT) Manado telah menerbitkan amar putusannya, dan kemudian dibantah Margaretha. Menurut terdakwa, putusan tersebut bukan terjadi pada 1997 melainkan 1977.

Dasar itulah Santrawan pun menegaskan kalau Pasal 263 Kitab Undang – Undang Hukum (KUH) Pidana yang diterapkan penyidik untuk menjerat terdakwa, benar – benar pasal cangkokan.
Sementara Hanafi Saleh, SH dalam keterangannya lebih merujuk pada berita acara eksekusi yang menurut JPU akan dilanjutkan pada sidang berikutnya sebagai bukti tambahan, telah dipertimbangkan dan dimenangkan dalam Putusan Perdata Nomor 559 atas nama Maria Luntungan.
Pada kesempatan yang sama, Hanafi kembali menyinggung soal ketidaktahuan seluruh saksi tersangkut batas – batas tanah, yang dieksekusi pada 25 November 2022 lalu.
“Tanah yang dieksekusi dalam hubungan dengan putusan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung terhadap perkara nomor 19 kemudian nomor 20, intinya tidak ada tanah dengan pemilik bernama Magdalena Makalew, yang berbatasan dengan tanah milik Zeth Makalew,” tegas Hanafi.
Disebutkan Hanafi, batas – batas tanah tersebut terangkum jelas dalam putusan 1968 sampai 1976, hingga putusan inkrah pada 2024 lalu (putusan telah berkali kali – red), tidak ada satu pun kalimat yang membuktikan atau menyebutkan tanah milik Zeth Makalew, berbatasan dengan tanah milik Magdalena Makalew, baik sebelah utara, barat, timur maupun selatan.
Penulis: Indra Ngadiman.